Apa yang ada di pikiran kalian setiap kali mendengar kata “laki-laki”? Pasti yang ada di dalam pikiran kalian adalah bahwa laki-laki itu harus macho, kuat, jantan dan lain sebagainya kan? Pandangan semacam itulah yang disebut kemaskulinan beracun atau toxic masculinity. Di dalam dunia psiklogi kemaskulinan beracun seringkali diartikan sebagai kontruksi masyarakat patriakis yang mengacu perilaku dan sikap kasar yang dikaitkan dengan seorang laki-laki. Tentu saja kontruksi semacam ini menjadi sebuah berita buruk bagi para laki-laki, karena mereka seakan-akan digiring pada syarat-syarat tertentu agar mereka bisa dianggap sebagai laki-laki atau seratus persen laki. Bagaimanapun juga, kontruksi sosial semacam ini merupakan suatu deskripsi yang sangat sempit tentang kejantanan atau maskulinitas.
Sangat menyedihkan memang ketika para lelaki harus dihadapkan dengan kontroksi sosial semacam ini. Mereka terlahir sebagai seorang laki-laki, tapi jika mereka tidak memenuhi standar-standar dari sebuah maskulinitas, maka mereka akan dianggap sebagai orang yang lemah atau laki-laki yang tidak sempurna. Sebagai contoh misalnya anggapan bahwa seorang laki-laki itu harus merokok. Teori semacam ini tentu saja sangat menyakitkan bagi para laki-laki yang berusaha untuk menerapkan pola hidup sehat dengan tidak merokok. Dengan kata lain bahwa ketika mereka berada di sebuah komunitas sosial dan mereka tidak merokok, maka mereka akan disebut sebagai laki-laki lemah. Masih banyak lagi teori kemasulinan beracun yang ada di sekitar kita. Berikut ini adalah beberapa macam toxic masculinity yang sebenarnya berdampak buruk bagi mental laki-laki.
Pertama, man is the big wheel. Istilah lelaki adalah tulang punggung bagi keluarganya adalah sebuah norma sosial yang sebenarnya menjadi sebuah racun bagi seorang pria. Bila merujuk pada istilah man is the big wheel, maka seorang lelaki itu dituntut untuk menjadi sosok yang kuat, harus menanggung keluarganya; memiliki tujuan untuk dikagumi dan dihormati. Hal ini merupakan salah satu toxic masculinity yang merusak mental seorang pria, karena bagaimana pun juga jika kita berbicara mengenai kepribadian yang kuat, maka ada beberapa faktor yang membentuknya seperti misalnya pola asuh, pengaruh lingkungan dan lain sebagainya. Ada beberapa pria yang sedari kecil sudah dididik oleh orangtuanya untuk menjadi sosok yang lemah seperti misalnya dilarang bermain karena takut terluka, takut dinakalin dan lain sebagainya. Jika masalahnya seperti itu, lalu siapakah yang salah? Lelaki yang tidak kuat atau kedua orangtuanya yang membuat si anak lelaki tersebut menjadi sosok yanhg tidak kuat?
Kedua, boys don’t cry. Lagi-lagi seorang laki-laki itu baru bisa dibilang jantan ketika bukan hanya fisiknya saja yang kuat, tapi mentalnya, dengan tidak menangis misalnya. Hal ini juga menjadi salah satu toxic masculinity yang merusak mental seorang pria. Bagaimana pun juga, menangis itu tidak mengenal jenis kelamin. Semua orang berhak untuk menangis. Lagi pula, menangis bukanlah hal yang memalukan. Ada banyak manfaat dari sebuah tangisan seperti misalnya menangis bisa mengurangi stres, menangis juga bisa merangsang produksi endorfin dalam tubuh yang membuat kita dapat merasa lebih baik, menangis bisa membantu kita untuk mengurangi rasa sakit, dan mengurangi rasa stres. Menangis juga bisa membuat mood kita meningkat. Ketika kita menangis, kadar mangan yang ada di dalam tubuh kita bisa ikut keluar, dan lain sebagainya. Jadi jika kalian laki-laki dan kalian merasa perlu menangis, maka menangislah.
Sekali lagi, istilah bahwa lelaki itu tidakharus tegar dan tidak boleh menangis adalah bentuk dari toxic masculinity yang harus segera kita luruskan. Pria itu boleh menangis, dan itu sah-sah saja. Tidak ada hubungannya antara menangis dan jenis kelamin. Menangis itu adalah cara mengatasi kesedihan. Bukankah seiring kedewasaan seseorang, maka kita diminta untuk bisa mengatasi kesedihan kita sendiri? Seperti yang disebutkan dalam buku Cast Away Your Sadness: Seni Menguasai Rasa Sedih Yang Banyak Orang Belum Tahu. Bagi kalian yang belum tahu dan tertarik dengan buku tersebut, silakan saja klik di sini.
Ketiga, Give ‘em hell. Kita pasti sering mendengar istilah semacam itu, di mana seorang laki-laki diminta oleh masyarakat untuk tampil sebagai seseorang yang kasar, yang agresif, suka memaksa dan sedikit garang. Hal ini juga merupakan sebuah toxic masculinity yang bisa membuat seorang pria depresi. Seorang pria tidak selalu harus berperilaku kasar. Seorang pria tidak harus suka tawuran. Di luar sana, ada juga pria yang lebih suka berdiam diri di perpustakaan untuk membaca buku, menghabiskan waktu di laboratorium komputer untuk mempelajari teknik informatika dan lain sebagainya. Dunia mereka yang lebih sering berada di rumah sangat berlawanan dengan dunia para pria yang sering menghabiskan waktunya untuk beradu otot dan terbiasa dengan sifat kasar, agresif dan lain sebagainya.
Komentar
Posting Komentar